Wartawan Malang Post, Fino Yudistira menceritakan kisah Aremania yang sudah rindu menonton Arema ini, seperti apa kisahnya?.
Sore hari di Stadion Majlis Perbandaran Selayang, sehari sebelum pertandingan 25 Februari lalu, terasa hangat dengan matahari Malaysia yang bersinar teduh. Suasana itu makin hangat, karena ada dua orang berpakaian Aremania, tampak berjalan pelan di seberang jalan stadion. Panggilan "Sam" yang terlontar pun, membuat dua orang itu mendekat.
Dua orang itu ternyata adalah orang Malang yang mengais rezeki di Malaysia. Keduanya bernama Agus. Tapi, berasal dari sisi Malang yang berbeda. Agus pertama, yang berambut pendek, mengenakan kaus biru Arema, dan lebih muda, mengaku berasal dari Jabung, Kabupaten Malang.
Dia sudah dua tahun di Malaysia, mencari Ringgit untuk dikirimkan kepada keluarga di Malang. Sementara, Agus kedua mengaku berasal dari Kepanjen. Dia berambut gondrong. Perawakannya lebih kecil dan juga lebih tua. Baju merah bertuliskan Aremania dikenakan oleh Agus Kepanjen saat bertemu Malang Post.
Sapaan ramah keluar dari bibir kedua orang Malang ini. "Yok opo kabare sam? Seneng tenan aku iso ndelok Arema maneh. Wes pirang-pirang tahun gak iso nonton Arema langsung. Gak tahu ngalup," tutur Agus Jabung.
Pemuda yang kesehariannya bekerja di restoran itu mengaku sudah dua tahun tak pulang. Dia bekerja di area Johor Baharu.
Sementara, Agus Kepanjen lebih lama lagi di Malaysia. Dia sudah tujuh tahun berburu Ringgit di Negeri Jiran. Pekerjaan hariannya ada di pasar, berjualan. Dia jualan di daerah Chowkit. Kerinduan dua orang itu akan Malang begitu terasa. Sebab, mereka sampai cuti kerja agar bisa nonton Arema di Selayang.
"Ayas cuti ben iso nonton Arema, gak ngurus bos ngamuk-ngamuk, pokoke dino-dino iki tak gawe Arema-an tok wes," ujar Agus Kepanjen dengan bahasa Malangan yang cukup kental. Sembari menunggu para pemain Arema selesai latihan di Selayang, cerita demi cerita orang Indonesia di Malaysia, mulai terbuka.
Mungkin sudah klise dan jadi rahasia umum, tapi rasisme di Malaysia begitu kental. Warga rumpun Melayu, berkuasa dan mendominasi Malaysia. Dari cerita kedua orang ini, diskriminasi dan pilih kasih pemerintah Malaysia pun terlalu kentara. Masyarakat dengan ras Melayu dimanja.
Sejak era Mahatir Muhammad, ras Melayu seperti tak boleh tersentuh oleh hukum maupun kasus Semua kebijakan, dibuat untuk menguntungkan warga Melayu. Bahkan, sekarang juga sudah ada model Bantuan Langsung Tunai yang diberikan kepada warga Malaysia. Bisa ditebak, BLT itu lebih mudah didapat oleh ras Melayu.
Sementara, warga ras minoritas, dijajah dan diinjak-injak. Tak peduli. Meskipun warga ras minoritas itu ber-KTP Malaysia, asalkan bukan ras Melayu, "halal" hukumnya untuk didiskriminasi. Masyarakat Cina dan India jadi korban diskriminasi rasialisme di Malaysia. Hal itu sangat terlihat dari kehidupan sehari-hari.
"Petugas di sini tak pernah razia warga ras Melayu. Yang kena razia pasti orang Cina dan India. Lalu, untuk bikin surat resmi, seperti SIM, susahnya setengah mati bagi warga minoritas, selalu dipersulit. Sebaliknya, warga ras Melayu sangat mudah mendapatkan surat-surat semacam itu," tegas Agus Jabung.
Tapi, diskriminasi yang paling tajam, tentu saja untuk tenaga kerja seperti Agus. Warga Indonesia sudah biasa dapat cacian dan jadi sasaran rasialisme di Malaysia. Itu kenyataan yang tak bisa ditampik. Menyesakkan, ketika mendengar cerita Agus soal arogansi petugas berwajib di Malaysia, saat memeras orang Indonesia.
"Jadi, paspor yang kita miliki, itu tidak cukup untuk bisa pergi di seluruh Malaysia. Kita dibatasi. Kalau mendaftarkan paspor di Johor Baharu, ya hanya boleh beredar di Johor Baharu. Keluar daerah, pasti langsung dirazia, ujung-ujungnya minta uang minum. Itu biasa disini," tutur Agus Jabung, yang nekat pergi ke Selangor, meskipun paspornya tak terdaftar untuk beredar di area Selangor.
Sebutan-sebutan seperti "Indon" yang bahkan secara lancar diucapkan oleh anak kecil di Malaysia, juga jadi makanan harian warga Indonesia di Malaysia. Namun, orang-orang seperti Agus tak bisa berbuat apa-apa. Tekanan ekonomi, kesulitan lapangan kerja di Indonesia, membuat warga Indonesia memilih pergi ke negeri serumpun, yang akhirnya juga menindas dan memeras.
Untungnya, meskipun diinjak-injak, Agus mengaku masih punya kebanggaan, yakni Arema. "Arema itu jiwa saya. Arema itu identitas saya. Kebanggaan di negeri asing yang menindas saya. Saya menangis karena bangga, melihat Arema, tim dari kota kelahiran saya, mampu membawa kebanggaan di sisa-sisa harga diri saya yang setiap hari diinjak orang asing," tutupnya. (Malang Post)
0 comments:
Post a Comment