Saturday 22 February 2014

Intermezzo : Mau Dibawa Kemana Klub Sepakbola Kita?


Aremania Adalah Aset Yang Harus Bisa Membuat Klub Arema Besar (Foto: Abi Yazid)
Aremania Adalah Aset Yang Harus Bisa Membuat Klub Arema Besar (Foto: Abi Yazid)

Wearemania.net - Tanpa bermaksud menghakimi upaya keras dari manajemen PT Arema Indonesia selama ini, kita dapat juga membayangkan bagaimana kurang maksimalnya roda bisnis klub dalam mengintensifkan revenue (pemasukan) yang bersumber dari adanya dukungan penonton yang melimpah. Fokus pemasukan Arema sejauh ini baru bersumber dari :
  1. Tiket penonton
  2. Sponsor
  3. Merchandise(Hangtag Produk berlogo Arema, jersey, dll)
  4. Sumbangsih pihak ketiga, dsb.
Prosentase yang terbesar memang masih bersumber dari penonton/suporter, namun jumlah tersebut masih belum maksimal jika dilihat dari besaran revenue yang mengalami penurunan dalam 2 musim terakhir. Hal yang paling dirasakan tentu saja menurunnya pendapatan dari sektor tiket penonton. Jumlah penonton mengalami penurunan lebih dari 25 persen musim lalu, prosentase kemungkinan akan terjadi hal yang serupa pada akhir musim ini sangatlah besar.
Kekurangan pendapatan tentu berakibat pada macetnya peluang klub untuk mewujudkan visinya. Sebagai klub yang tidak mendapatkan dana hibah berupa APBD selama bertahun-tahun Arema dituntut untuk mandiri dan survive. Tentu kata survive disini merujuk pada kemampuan Arema untuk bertahan dari keterpurukan finansial yang melanda Arema sejak beralihnya pengelolaan Arema dari Bentoel Group media 2009 lalu.
Tentu kinerja manajemen Arema masih banyak kekurangan. Lewat otokritik, semangat membangun, transparansi serta niatan memperbaiki diri semoga target yang menjadi acuan selama ini dapat terpenuhi. Minimum Arema mampu mengakhiri musim tanpa meninggalkan beban finansial. Jika sudah demikian tinggal memikirkan bagaimana melangkahkan kaki dari tahap bertahan menjadi berkembang.
Kita tentu sudah menyaksikan bagaimana industri sepakbola di beberapa negara Asia mulai berkembang pesat. Virus globalisasi yang menyebar dari daratan Eropa telah mengilhami beberapa negara di Asia untuk berbuat serupa. Jepang yang dulu kompetisi sepakbolanya terlahir dengan melakukan studi ke negara lain seperti Galatama di Indonesia kini jauh meninggalkan Indonesia dari perkembangan industri sepakbolanya.
Jepang memiliki J-League yang tumbuh menjadi kompetisi sepakbola terbesar di Asia. Gemerlap J-League acapkali membuat pecinta sepakbola Indonesia iri. Kompetisi yang profesional dan masuk dalam kompetisi sepakbola kelas 'A' AFC sejalan dengan perputaran ekonomi yang terus berkembang. Dalam rilis AFC berjudul General Assessment Report, rata-rata pendapatan komersial klub-klub J-League mencapai 3,3Miliar yen(hampir 392 Miliar rupiah) untuk tahun 2009 lalu.
Disaat yang sama pendapatan bisnis klub-klub di Indonesia menempati urutan ke-10 dengan perolehan sekitar $1,8juta dolar(sekitar 16,9Miliar rupiah dengan memakai kurs saat ini). Itupun dengan catatan apakah pendapatan klub dari sektor APBD 'dimasukkan' sebagai pendapatan komersial atau tidak. Seperti yang kita ketahui, pada tahun 2009 lalu sebagian besar klub sepakbola di Liga Super Indonesia memakai dana APBD dengan hanya menyisakan Arema dan Pelita Jaya sebagai klub swasta yang mandiri.
Bagaimana klub J-League mampu survive di tengah persaingan yang ketat menarik perhatian saya. Urawa Reds Diamonds, klub juara AFC Champions League 2007 memberikan publikasi dalam laporan keuangan untuk tahun finansial 2004-2008. Dalam laporan tersebut tercantum transparansi sebuah klub dalam mengelola keuangan secara profesional dan kapabel.
Urawa Reds Diamonds membagi pendapatan operasional berdasarkan lima kategori:
  1. Tiket pertandingan
  2. Komersial Iklan(termasuk hak siar)
  3. Penjualan barang(merchandise, dsb)
  4. Distribusi dari pengelola kompetisi(share kompetisi, dsb. Prize Money tidak termasuk dalam point ini)
  5. Pendapatan lain(Prize Money, matchfee dari pertandingan ujicoba, dan pendapatan lainnya )
Sedangkan pengeluaran klub dibagi menjadi beberapa macam meliputi pengeluaran operasional untuk keperluan tim(pemain dan pelatih), kantor beserta karyawannya serta pengeluaran untuk menjalankan administrasi klub.
Dari pengelolaan secara profesional tersebut, Urawa Reds Diamonds memiliki neraca keuangan positif di setiap tahun anggaran yang dilaporkan kepada publik(2004-2008). Keuntungan pada tahun anggaran 2004 mencapai 62juta yen, tahun 2005 sebesar 357juta yen, 2006 203juta yen, 2007 220juta yen, dan 2008 sebesar 33juta yen.
Sekalipun keuntungan ini akhirnya dipotong pajak mengikuti aturan undang-undang setempat, terkecuali pada tahun 2004, Urawa Reds Diamonds masih mendapat keuntungan bersih puluhan juta yen setiap tahunnya(selengkapnya lihat grafis).
Unit:millions of yen
 2004FY2005FY2006FY2007FY2008FY
Operating income5,5595,8047,0787,9647,090
 Gate receipts1,9581,9492,5313,0082,866
Advertising income1,3511,6602,2882,3842,373
Sale of goods1,0868411,2531,2461,014
Distribution from J. League445333363391339
Others7191,021643935498
Business costs5,4975,4476,8557,7437,057
 Operating costs5,0034,9846,2627,1156,330
 Administration costs1,9732,0282,9763,3023,180
Team administration costs3,0302,9563,2683,8133,149
[portion of this for remuneration
of players, manager & coaching staff]
[2,191][2,342][2,499][2,841][2,405]
General administration costs494463593627727
Operating profit6235722322033
Pretax profit5637125223520
Net profit this term01671556223
*Settlement for 10 months only in 2005FY due to change of accounting year from March to January
*Loss recovery insurance contracts sealed through 2004FY
*Figures for gate receipts straddle different seasons through 2004FY and do not correspond perfectly to the season of each year.
*Prize money not included in J. League distributions. Prize money, playing and other appearance fees etc. are included under 'Others'
Financial status of club
Unit:millions of yen
 2004FY2005FY2006FY2007FY2008FY
Total assets2,5042,4212,2402,2622,116
Total liabilities2,3442,0931,7581,7171,548
Net assets160327483544568
Capital160160160160160
*As of the end of March through 2004FY; the end of January thereafter
Meski tren pendapatan Urawa Reds Diamonds sempat mengalami penurunan di tahun 2008 lalu, namun tetap tidak menafikan fakta bahwa pengelolaan klub yang berhome base di Stadion Saitama tersebut jauh mengungguli pengelolaan klub sepakbola di Indonesia.
Menurut Mr. Sonta Hoji, Salah Satu direktur J-League, anggota komite internasional JFA(Asosiasi Sepakbola Jepang), ada 4 faktor utama dalam kesuksesan J-League beserta klubnya:
  1. Klub berbasis komunitas
  2. Manajemen kompetisi yang berfokus pada pembangunan berkesinambungan
  3. Sistem piramida terstruktur untuk mengarahkan klub beserta bakatnya hingga ke tingakt internasional
  4. Jaringan suporter yang efisien dan terorganisir, yang terdiri dari warga lokal yang bertindak sebagai suporter dan relawan, kota(pemerintah kota) bertanggung jawab terhadap pengembangan stadion(homebase) serta pebisnis lokal sebagai sponsor.
Tahun ini J-League berusia 20 tahun, namun tidak menghalangi mereka untuk terus maju di tengah kondisi mereka yang terbilang unggul dari seluruh anggota AFC. Visi One Hundred Year Vision didengungkan untuk menjawab tantangan kedepan. J-League memelihara budaya baru yang berakar dari klub yang berbasis komunitas. Tentang visi untuk membangun budaya baru ini sudah terpampang dalam situs J-League sendiri.

Konsep Pengelolaan Klub Di Liga-Liga Eropa :

Setahun lalu gagasan untuk membentuk Arema sebagai klub yang berbasis komunitas sudah tercetus, diskusi publik baik online dan offline sudah dijalankan, perwakilan manajemen Arema sudah menyatakan sikap keterbukaannya namun sayang realisasinya terbentur beberapa hal terkait kondisi internal Arema yang tidak sehat, hingga lahirlah konflik didalam klub yang belum padam baranya hingga sekarang.
Di lain pihak manajemen Arema sebenarnya sudah memiliki rencana untuk mengembangkan klub. Namun sebelum rencana ini terekspos ke publik, masih terbentur dengan sejumlah kendala yang menghadang.
Alhasil rencana ini tidak dapat direalisasikan. Terlebih kondisi sepakbola Indonesia masih menunjukkan tanda kemuramannya.
Seyogyanya kita tidak terpuruk dalam keadaan. Singa yang menjadi perlambang klub kebanggaan Aremania tidak boleh terlelap dalam tidur panjangnya. Jika perlu bangunkan sebelum fajar terbit di ufuk timur! Selagi klub-klub sepakbola lain di Indonesia sedang terlelap dalam pertarungan panjang para elit penguasa, hendaknya tidaklah habis energi kita untuk dihabiskan dalam problematika ini.
Arema sebagai entitas klub sepakbola mandiri bukanlah satu-satunya klub yang mengalami problem klasik berupa keterbatasan finansial. Diluar Arema masih ada sederet klub ternama lain yang menghadapi masalah serupa dan belum menemukan solusi tepat untuk mengatasinya. Pada pertemuan tanggal 28 Mei lalu APPI(Asosiasi Pemain Profesional Indonesia) mengumumkan belasan klub dari dua kompetisi teratas di Indonesia(ISL dan IPL) yang menunggak gaji kepada pemainnya.
Kita tidak bisa terus membiarkan telur bencana ini menetas didalam Arema. Sepakbola Indonesia telah tertinggal begitu jauh dari Jepang, meski di tahun 80an, justru mereka(Jepang-red) yang belajar mengenai pengelolaan klub sepakbola yang profesional dari Indonesia. Yang lebih mencengangkan, mereka belajar dari Galatama ketika masih berstatus sebagai kompetisi semiprofesional. Belum 100% profesional. Namun dalam rentang waktu tidak sampai 20 tahun sejak J-League berdiri di tahun 1992, ketika sepakbola Indonesia masih merangkak, J-League sudah berlari menjauh di depan.
Kita juga menyaksikan pula klub-klub Thai Premier League(TPL) yang kompetisinya digulirkan setahun lebih lambat dibandingkan kompetisi sepakbola profesional sekelas ISL di Indonesia telah menunjukkan perkembangan signifikan. Beberapa klub sepakbola di Thailand memiliki konsep dan realisasi strategis untuk mengembangkan klub secara profesional.
Klub-klub seperti Songkhla FcBuriram United maupun Muangthong United melakukan ekspansi ekonomi secara cepat dengan dukungan para suporternya. Untuk mendukung kegiatan ekonomi klub dibangunlah stadion, yang meski secara kapasitas masih dibawah stadion Kanjuruhan ataupun Gajayana di Malang. Namun keistimewaannya stadion itu dimiliki dan dikelola oleh mereka sendiri. Tak lupa, untuk menambah pundi keuangan klub beberapa stadion tersebut dibranding namanya dan menghasilkan dana sebesar ratusan juta baht(1 baht senilai dengan 298 rupiah untuk kurs sekarang ini).
Pendapatan klub Thai Division 1 League(Setingkat dibawah TPL) musim 2011. Tribute : http://www.phuketgazette.net
Daya tarik sepakbola Thailand mungkin belum sebesar yang ada di Indonesia. Rata-rata jumlah penonton TPL masih sekitar separuh dibandingkan rata-rata penonton yang ada di ISL. Meski begitu pendapatan sponsor klub-klub TPL cukup tinggi sekitar 10-30juta baht(3-9 miliar rupiah) setiap tahunnya, masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapat oleh Arema musim ini. Pendapatan lain juga belum dihitung terkait dengan penjualan merchandise. Untuk klub seperti Muangthong United dapat memperoleh revenue sebesar 1 juta baht setiap pertandingannya secara bruto.
Dengan pendapatan yang besar tentu tidak sulit untuk mengatur klub agar tetap dalam kondisi untung. Begitu juga dengan beberapa klub TPL. Biaya operasional beberapa klub papan atas TPL masih lebih kecil dibandingkan klub sepakbola di Indonesia. Kebutuhan gaji untuk pemain bintang rata-rata tidak lebih dari 200ribu baht(60juta rupiah) perbulan. Menarik sekali jika melihat pendapatan per kapita masyarakat Thailand justru lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Masih banyak yang perlu dibenahi dalam sepakbola Indonesia, tidak terkecuali Arema. Tidak ada kejelasan dan kepastian, mau dibawa kemana muara konflik sepakbola nasional yang tak kunjung selesai. Kita tentu dapat menangkap kekhawatiran para petinggi klub mengenai kegagalan menunaikan kewajiban secara tepat waktu. Itulah yang secara kasat mata dapat kita rasakan pada saat ini. Tentu tidak elok jika kekhawatiran ini bersifat menahun akibat tidak ada kepedulian dan perbaikan menuju perwujudan kompetisi sepakbola yang stabil dan terkelola secara profesional.
Kita tidak memungkiri bahwa perkuatan ekonomi dan kapitalisasi klub bergantung kepada klub itu sendiri. Artinya dibutuhkan SDM yang berkualitas, konsep yang meliputi rencana strategis untuk mengembangkan klub, payung hukum berupa aturan internal klub hingga dukungan para suporternya. Namun tanpa adanya faktor eksternal berupa kompetisi sepakbola yang stabil dan sehat, upaya dan langkah strategis yang dilakukan oleh klub akan terbentur dinding tebal.
Hari ini kita melihat dan merasakan sekian klub sepakbola tanah air yang bernafas kembang kempis, sebagian lagi laksana hidup segan mati tak mau, bahkan yang lebih tragis sudah ada klub yang tidak mampu lagi melanjutkan perjuangannya.
Lantas apa artinya semua konflik yang terjadi dalam sepakbola nasional jika tidak mampu memperhatikan nasib para anggotanya? Mereka bukan lagi membutuhkan guyuran air segar pelepas dahaga dalam bentuk modal yang besar, namun kebutuhan akan kail dan umpan memancing ikan besar yang akan menyokong kehidupan ekonomi klub dalam jangka panjang. Semoga para elit sepakbola tanah air sadar untuk tidak berlama-lama berkubang dalam lumpur konflik.

0 comments:

Post a Comment