Saturday 22 February 2014

Ditinggal Aremania, Salah Siapa?

Derby d'Ngalam yang selalu menjadi laga adu gengsi, emosi dan penahbisan siapa 'penguasa' Malang Raya sepertinya tidak tampak dalam laga derby pertama musim ini di stadion Gajayana senin lalu.
Menilik skor akhir, memang dapat diketahui bersama bahwa Persema Malang keluar sebagai pemenang sekaligus mengungguli anak asuh Antonic Dejan dengan skor 1-0 untuk musim ini.
Yang menjadi menarik adalah bagaimana derby tersebut yang sesungguhnya mampu mendapat atensi dan antusiasme luar biasa dari pecinta bola Malang, Aremania dan Ngalamania nyaris tidak tampak bahkan hingga pertandingan usai.
Derby yang berakhir dengan skor 1-0 hasil tendangan terukur Kim Kurniawan pada menit 79 nyaris hampir sama dengan pertandingan Arema IPL pada laga-laga sebelumnya, sepi penonton dan tak tampak hingar bingar suporter layaknya sebuah derby.
Sebelumnya, tak peduli siapapun tuan rumahnya, sudah menjadi kewajiban bagi Aremania dan Ngalamania bahwa derby d'Ngalam tersebut menjadi agenda wajib yang tak boleh terlewatkan dalam tiap musim dan ikut serta menjadi bagian didalamnya adalah sebuah keharusan.
Lantas apa yang menjadi penyebab pertandingan yang seharusnya selalu dinanti dan selalu menyita perhatian tersebut ditinggal penonton? Beralasan bahwa pertandingan tersebut disiarkan live oleh stasiun televisi juga bukan sebuah jawaban. Derby-derby yang telah lalu menunjukkan bahwa meskipun disiarkan live, stadion tak pernah sesepi derby kemarin.
Aremania yang hadir pada laga kedua Arema IPL melawan Persibo
Menurut hemat saya, sumber masalah sebenarnya ada di dalam tubuh Arema IPL sendiri. Bukan rahasia lagi bahwa Arema IPL benar-benar mulai ditinggalkan Aremania seiring dengan semakin rumitnya persoalan internal tim. Dan berpuncak pada eksodusnya para pemain pujaan Aremania dari tim yang di danai oleh Konsorsium Ancora tersebut.
Kenapa saya katakan bahwa hengkangnya para pemain tersebut (Along, M. Ridhuan, Esteban Guillen, Kurnia Meiga, Roni Firmansyah hingga Hendro Siswanto dan Leonard Tupamahu) juga berpengaruh dengan merosotnya daya tarik Arema IPL asuhan Antonic Dejan tersebut.
Kita lihat dalam dua pertandingan awal musim ini. Arema IPL dibawah arahan pelatih Milomir Seslija yang masih menyisakan beberapa pemain eks juara ISL 2010 mampu menghadirkan separuh dari kapasitas stadion Gajayana yang menjadi home base pada pertandingan pertama dan lebih banyak lagi pada pertandingan kedua kala menghadapi Persibo Bojonegoro. Dan seiring konflik yang terjadi terus menyusut bahkan hingga pertandingan yang bertajuk derby sekalipun tetap tak mampu meraih atensi publik.
Seorang kawan pernah mengatakan. "Aremania yang hadir ke stadion Gajayana itu juga Aremania yang hadir ke stadion Kanjuruhan (untuk menonton Arema ISL). Mereka datang ke Gajayana itu untuk menghargai para pemain yang mereka anggap sebagai pahlawan ketika membawa Arema juara ISL 2010. Sekarang kalau mereka sudah tidak ada di dalam tim, buat apa lagi jauh-jauh datang ke Gajayana, toh pahlawan tersebut juga tak dihargai disana?".
Asumsi saya berkata sama dengan kawan saya ini. Jumlah penonton berbanding lurus dengan jumlah pemain pujaan penonton tersebut. Terlepas dari apakah tim ini menang, kalah atau seri dalam tiap pertandingannya. Dan juga mengabaikan apakah hadir ke stadion Gajayana atau Kanjuruhan atau tidak hadir ke dua-duanya itu adalah sebuah sikap suporter yang memang selalu mempunyai hak untuk memilih.
Aremania di tribun utara saat laga Arema vs Persipura di ISL
Dana besar untuk membentuk tim dengan sebutan tim modern dan profesional tidak akan ada gunanya apabila tidak ada suporter di tribun yang hadir untuk menonton. Ini Malang, basis terbesar Aremania dengan kultur yang berbeda dengan daerah lain. Disini suporter mempunyai "kewenangan' lebih dari hanya sekedar disuruh berdoa dan menonton tim kebanggaannya bermain.
Rupanya manajemen Arema yang berkantor di Jalan Jakarta 48 tersebut lupa bahwa mereka ada di sebuah kultur sepakbola yang sama sekali berbeda dengan tim yang juga sama berada dibawah naungan mereka, semacam PSIS Semarang atau Bali Devata.
Bermacam cara dilakukan untuk menarik hati suporter dan menjadi lebih dekat dengan suporter, mulai sarasehan suporter hingga diskon tiket tampaknya tidak lagi jitu menggaet hati suporter. Bisa dibilang momentum itu telah lewat begitu saja dan terabaikan oleh manajemen Arema IPL dan tak berarti apa-apa lagi sekarang.
This Is Real Derby, Dan Rekor Arema (Asli) Belum Patah Hingga Kini
Jangan pernah menyalahkan suporter dengan apa yang terjadi, karena ini bukan lagi masalah fanatisme tetapi ini masalah hati dan pilihan.
Seharusnya manajemen paham bahwa berapapun dana yang dimiliki, sebagus apapun tim, sementereng siapapun pemainnya, semua itu tak akan berarti apabila tidak ada suporter..
Salam Satu Jiwa

0 comments:

Post a Comment